Jakarta — 5 Agustus 2025
Wartajabar.online | JAKARTA – Menjelang peringatan Hari Ulang Tahun ke-80 Republik Indonesia, dunia maya dan ruang publik diramaikan oleh fenomena pengibaran bendera bajak laut dari serial anime One Piece. Bendera fiksi tersebut, yang seharusnya hanya menjadi bagian dari budaya pop, kini memicu diskusi serius tentang makna simbol kebangsaan dan posisi Merah Putih di hati rakyat Indonesia.
Foto: Ilustrasi bendera fiksi One Piece di ruang publik
Fenomena ini tidak sekadar tren anak muda. Menurut Dewan Pimpinan Pusat Lembaga Swadaya Masyarakat Monitor Aparatur Untuk Negara dan Golongan (DPP LSM MAUNG), maraknya pengibaran bendera fiksi mencerminkan krisis simbolik dan keterasingan rakyat dari narasi kebangsaan.
“Ini Peringatan, Bukan Pemberontakan”
Ketua Umum DPP LSM MAUNG, Hadysa Prana, dalam pernyataan resminya menyampaikan bahwa ini bukan soal larangan terhadap budaya populer, melainkan soal hilangnya makna representatif dari simbol negara.
“Jika rakyat lebih bangga mengibarkan lambang bajak laut ketimbang Merah Putih, itu bukan pemberontakan. Itu peringatan bahwa simbol negara sudah tidak lagi relevan di mata mereka,” tegas Hadysa.
Tiga Masalah Utama yang Diangkat LSM MAUNG
1. Negara Gagal Memelihara Makna Simbolik; Bendera Merah Putih telah kehilangan daya emosionalnya. Ia dikibarkan karena aturan, bukan karena cinta. Generasi muda tidak lagi menemukan keberanian, pengorbanan, dan keadilan dalam simbol negara, melainkan dalam tokoh-tokoh fiksi.
2. Toleransi Pemerintah; Pembiaran Simbolik Pemerintah yang menyikapi fenomena ini sebagai bentuk kreativitas dianggap LSM MAUNG sebagai tanda lemahnya narasi nasionalisme. Sikap permisif tanpa refleksi justru memperlihatkan negara yang kehilangan kendali atas makna simbolik yang seharusnya dijaga.
3. Perayaan Kemerdekaan Tanpa Kesadaran Adalah Seremoni Kosong; Tanpa nilai-nilai yang hidup dalam kebijakan dan perilaku elite, simbol dan seremoni kemerdekaan hanya menjadi rutinitas tanpa jiwa. LSM MAUNG menegaskan bahwa semangat kemerdekaan tidak terletak pada spanduk atau upacara, tetapi pada keadilan sosial yang dirasakan nyata.
Desakan dan Seruan Moral dari LSM MAUNG
LSM MAUNG menyampaikan sejumlah tuntutan sebagai solusi:
Evaluasi total pendidikan nasionalisme, agar nilai-nilai konstitusi dihidupkan dalam praktik, bukan sekadar hafalan.
Reformasi narasi kebangsaan, melalui keteladanan nyata dari pemimpin, bukan slogan dan iklan.
Pemulihan martabat simbol, bukan dengan melarang simbol fiksi, melainkan dengan menjadikan simbol negara kembali dicintai.
“Simbol bukan soal kain, tapi soal rasa percaya. Dan kepercayaan itu hanya lahir dari keteladanan. Bukan dari poster. Bukan dari seremoni. Bukan dari iklan kementerian,” tutup Hadysa.
Penutup: Lebih dari Sekadar Anime
Fenomena ini menandakan bahwa banyak rakyat, terutama generasi muda, merasa lebih terwakili oleh imajinasi keadilan dalam dunia fiksi dibandingkan kenyataan. Ini bukan persoalan One Piece, melainkan tentang bagaimana Merah Putih kehilangan tempat dalam narasi hidup rakyat Indonesia.
“Bendera Merah Putih hanya akan kembali bersinar jika para pemegang kuasa hidup dalam nilai yang dilambangkannya.”
—–
Editor: Admin Wartajabar
Sumber: DPP LSM MAUNG