Purwakarta–Wartajabar.Online | Rasa aman warga Purwakarta kembali dipertaruhkan. Dugaan penganiayaan dan ancaman yang menimpa Aep Saepuloh (39) kini menjadi cermin buram penegakan hukum: laporan sudah dibuat, visum medis telah dilakukan, saksi ada, identitas terlapor jelas—namun tak satu pun langkah tegas terlihat di lapangan.
Ironis. Saat korban hidup dalam ketakutan, terduga pelaku justru masih bebas berkeliaran tanpa hambatan hukum.
Peristiwa kekerasan itu terjadi Senin malam, 8 Desember 2025 sekitar pukul 18.30 WIB. Aep mengaku dipanggil oleh Andri Suhaeligaos dengan dalih “klarifikasi” atas tudingan yang disebut-sebut menyangkut nama baik terlapor. Namun apa yang terjadi jauh dari kata klarifikasi. Aep menyebut dirinya justru menjadi sasaran pemukulan brutal.
Menurut keterangannya, sesampainya di lokasi yang telah disepakati, Aep ditampar tiga kali dan dipukul dua kali di bagian rahang. Ia juga menyebut seorang pria bernama Dodi ikut terlibat dengan cara menahan dan menggerakkan tangannya secara paksa, membuat korban tak berdaya dan tak mampu melawan.

Foto: Kondisi dagu Aep Saepuloh (39) usai diduga menjadi korban pemukulan. Rasa sakit yang berkepanjangan hingga mengganggu waktu tidur, ditambah ancaman yang diterimanya, membuat korban hidup dalam ketidaknyamanan. Hingga kini, terduga pelaku masih bebas berkeliaran.
Tak menunggu lama, Aep langsung menjalani visum di RS Bayu Asih Purwakarta pada pukul 19.34 WIB—langkah hukum yang seharusnya menjadi dasar kuat bagi aparat untuk bertindak cepat. Namun hingga kini, hasil visum itu seolah kehilangan daya dorong di hadapan proses hukum yang berjalan lamban.
Situasi kian mencekam ketika Aep mengaku menerima pesan suara bernada ancaman dari terlapor. Ancaman tersebut bahkan menyentuh unsur sensitif yang berpotensi memicu ketegangan sosial dan keresahan publik. Meski tidak etis untuk diulang, substansi ancaman itu dinilai cukup serius untuk dikategorikan sebagai intimidasi nyata.
“Saya tidak merasa aman. Ancaman itu ada, nyata, dan pelakunya masih bebas,” ujar Aep, lirih namun tegas.
Aep menegaskan bahwa ia tidak sendirian saat kejadian berlangsung. Dua rekannya, Bagus Nurrohman dan Iqbal, turut mendampingi dan menyaksikan langsung bagaimana pertemuan yang diklaim sebagai klarifikasi berubah menjadi aksi kekerasan sepihak.
Ancaman lanjutan melalui pesan suara membuat kondisi psikologis korban semakin tertekan. Aep mengaku hidup dalam kecemasan, sementara orang yang diduga memukul dan mengancamnya tetap beraktivitas normal tanpa sentuhan hukum.

Foto: Setelah mengalami pemukulan dan ancaman, korban melaporkan peristiwa tersebut ke polisi pada 10 Desember 2025, berharap ada tindakan hukum tegas.
Pada Rabu, 10 Desember 2025, Aep resmi melapor ke Polres Purwakarta dengan Nomor Laporan: STTLP/491/XII/2025/SPKT/POLRES PURWAKARTA/POLDA JAWA BARAT, sekitar pukul 11.00–15.00 WIB. Namun hingga berita ini diturunkan, belum ada informasi penahanan, pemanggilan terbuka, atau langkah tegas yang diumumkan kepada publik.
“Saya hanya ingin keadilan. Jangan sampai hukum hanya berhenti di meja laporan,” tegas Aep.
Kasus ini bukan sekadar perkara penganiayaan. Ini adalah ujian nyata bagi aparat penegak hukum. Ketika laporan resmi telah diterima, visum tersedia, saksi ada, dan ancaman nyata dirasakan korban, namun proses hukum berjalan lamban, publik berhak—bahkan wajib—bertanya:
apakah hukum masih berdiri tegak, atau mulai tunduk pada kelambanan?
Jika praktik main hakim sendiri dibiarkan tanpa konsekuensi cepat dan tegas, maka yang tumbuh bukan rasa keadilan, melainkan rasa takut dan ketidakpercayaan. Dan ketika korban terus gelisah sementara terduga pelaku melenggang bebas, negara sedang gagal hadir di saat paling dibutuhkan warganya. (Red)










