Ketika Kiai Abun Purwakarta Berterima Kasih kepada Para Kiai Cipasung

Oleh Iip Yahya

Ketakziman seorang santri kepada kiainya, tak berhenti setelah ia pulang dan mukim. Rasa takzim itu melekat selama hidupnya. Kebaikan dan jasa para guru itu selalu disebut-sebut dalam berbagai kesempatan.

Hal itulah yang diperlihatkan oleh KH. Dr. Abun Bunyamin, MA. Ia tak pernah melupakan jasa para kiai yang telah mengajarnya, terutama para masyayikh Cipasung. Bahkan dalam perhelatan besar Rapat Pleno PBNU setahun yang lalu (20/09), Kiai Abun tanpa ragu menyebut jasa para gurunya itu.

KH. Dr. Abun Bunyamin, MA., saat ini dikenal sebagai pengasuh Pesantren Al-Muhajirin Purwakarta. Salah satu pesantren terbesar dengan 6.000 santri dan 700 orang guru. Dengan kemajuan seperti ini, ternyata Kiai Abun tak pernah melupakan gemblengan para gurunya di Pesantren Cipasung. 

Sebelum mengaji di Cipasung, ia sudah menjelajah di sejumlah pesantren, antara lain Pesantren Hidayatul Muta’allimin (Majalengka), Al-Falah dan Santiong (Cicalengka), Sukamiskin (Bandung), dan Riyadlul Alfiyyah Sadang  (Garut). 

Saat lahir pada 4 April 1954, ia bernama Muhammad Tamrin. Tapi saat masuk SD berubah menjadi  Ade Bunyamin dengan panggilan Amin. Dari mulai sebagai santri biasa, Amin kemudian menjadi Ketua Asrama Pusaka dan puncaknya menjadi seksi muballlighin yang membawahi seluruh asrama di Cipasung.

Rupanya saat di Cipasung inilah Amin menemukan kedewasaan dan arah hidup yang lebih pasti. Ia masih sempat mengaji sebentar kepada Abah Ruhiat. Amin selalu melaksanakan ijazah doa yang diberikan, yaitu shalat di awal waktu, membaca Al-Fatihah untuk Abah, dan membaca Al-Quran 50 ayat setiap hari. Menurut Abah Ruhiat, hal itu agar ilmu yang dipelajari manfaat dan penuh berkah. 

Dengan Kiai Ilyas Ruhiat, selain sebagai guru, Amin juga menganggapnya sebagai mentor yang mengarahkan jalan hidupnya. Masih segar dalam ingatannya sapaan Ajengan Santun dari Cipasung itu, “Min, lagi apa? Dari mana?” Kesantunan yang selalu tunjukkan kepada para santri. 

Pernah suatu hari Amin kepergok sedang-sedang senyum-senyum sendiri di lantai dua gedung PTI (sekarang Gedung IAIC). Ajengan Ilyas mengagetkannya, 

“Ada apa, Min?” 

Dengan malu-malu ia menjawab, “Ini Pak, saya lulus ujian PGA 6 Tahun.” Ya, waktu itu memang ia baru saja menerima pemberitahun lulus ujian persamaan PGA 6 tahun dari Sumedang. 

Kelulusan itu sangat menyenangkannya karena akan memperlancar proses studi selanjutnya. Saat itu sebenarnya Amin telah tercatat sebagai mahasiswa Fakultas Tarbiyah Perguruan Tinggi Ilmu Agama Cipasung. Ajengan Ilyas menganggapnya sudah layak untuk ikut kuliah sekalipun belum mendapatkan ijazah SLTA. Karena itulah ia perlu mengikuti ujian persamaan PGA 6 tahun.

Dari sosok Ajengan Ilyas ini, Amin melihat bagaimana sebuah pesantren dikelola dan dibesarkan. Pesantren Cipasung telah ditempa melalui semua tantangan zaman; penjajahan Belanda, Jepang, revolusi fisik, pemberontakan DI/TII, Orde Lama, Orde Baru, dan Reformasi. Semua era itu membawa konsekuensi berbeda-beda. Tapi semua dinamika zaman itu berhasil dilalui dengan baik dan menorehkan prestasi.

Kiai Abun Purwakarta tidak hanya menghormati guru-gurunya, tetapi juga para putra gurunya di Cipasung. Saat memberikan sambutan dalam Rapat Pleno PBNU itu, secara khusus dia menyebut nama KH Abun Bunyamin Ruhiat. Keduanya berkawan baik sejak di pesantren. Selayaknya santri, tentu saat itu Amin sering disuruh-suruh bahkan tak jarang dimarahi.

“Saya yang membawakan tasnya saat berangkat kuliah,” tutur Kiai Abun. ”Saya juga sering dimarahi. Alhamdulillah, berkah saya dimarahi, saya jadi maju. Kebaikan, kemajuan, ketinggian Pesantren Al-Muhajirin ini, tidak ada apa-apanya kecuali karena (berkah para guru) Pesantren Cipasung.”

Setelah mukim, Amin lebih dikenal sebagai KH Abun Bunyamin. Maka ada dua nama kiai yang sama. Sama-sama mengasuh pesantren besar. Yang satu Pengasuh Pesantren Al-Muhajirin Purwakarta, yang satu lagi Pengasuh Pesantren Cipasung Tasikmalaya. 

Begitulah paparan singkat Kiai Abun Purwakarta tentang Pesantren Cipasung. Dari penjelasannya itu, kita percaya bahwa Pesantren Cipasung akan mampu melewati setiap cobaan dan ujian.

(Disarikan dari sambutan KH Abun Bunyamin dalam Rapat Pleno PBNU (20/09/2020) dan biografi KH. Dr. Abun Bunyamin, MA)

Penulis adalah Direktur Media Center PWNU Jabar

Mungkin Anda juga menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *